Cek Fakta Tiga Mitos yang Kerap Diceritakan Mengenai Tamansari Jogja
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Tamansari merupakan salah satu destinasi favorit wisatawan saat bertandang di sekitar Kraton Jogja. Selain menarik dari sisi sejarah dan arsitektur, ada tiga mitos yang berkembang di Tamansari. Apa saja mitos tersebut dan benarkah demikian?
Sejarah Taman Sari
Dikutip dari Kratonjogja.id, Tamansari berarti taman yang indah. Semula lokasi ini merupakan sebuah taman atau kebun istana di sekitar Kraton Jogja. Kompleks ini dibangun secara bertahap pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I pada 1758 M.
Advertisement
Pada masa sekarang, proses pembangunan biasanya ditandai dengan peletakan batu pertama atau jamak dikenal dengan nama ground breaking. Pada era itu peletakan batu pertama biasanya ditandai dengan candrasengkala atau kadang disingkat dengan sengkalan atau juga disebut. Candrasengkala terdiri dari dua kata yaitu Candra yang artinya sebutan, nama dan Sangkala yang artinya hitungan tahun. Dengan demikian Candrasengkala adalah sebutan atau nama hitungan tahun. Di Tamansari, candrasengkala yang ada adalah Catur Naga Rasa Tunggal. Dari tanda ini kita dapat mengetahui jika waktu pembangunan awal Tamansari adalah tahun 1684 Jawa. Sengkalan awal dapat diartikan sebagai empat naga satu rasa. Anda dapat melihat gambaran ini di Gapura Panggung.
Bagian-bagian penting dari komplek bangunan diselesaikan sekitar 1765 M. Lagi-lagi, akhir dari pembangunan ini ditandai dengan candrasengkala Lajering Sekar Sinesep Peksi yang menunjuk tahun 1691 Jawa. Sengkalan kali ini berarti kuntum bunga dihisap burung ini dapat ditemui di gapura agung dan ornamen beberapa dinding bangunan.
Tamansari memiliki luas lebih dari 10 hektare dengan 57 bangunan di dalamnya. Bangunan-bangunan tersebut berbentuk gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, danau buatan, pulau buatan, masjid, dan lorong bawah tanah.
Taman ini dijuluki Water Kasteel karena kolam-kolam dan unsur air yang mengelilinginya. Disebut juga sebagai The Fragrant Garden karena pohon-pohon dan bunga-bunga yang harum ditanam di kebun-kebun sekitar bangunan.
Desain Tamansari didasarkan pada gagasan dari Sri Sultan HB I. Namun gambar teknis Tamansari dikerjakan oleh seorang berkebangsaan Portugis yang diduga datang dari wilayah Gowa, Sulawesi. Arsitek dari Portugis ini dikenal sebagai Demang Tegis, nama yang kemungkinan besar bersumber dari kebangsaannya. Adapun pimpinan proyek pembangunan Tamansari dipegang oleh Tumenggung Mangundipuro yang kemudian digantikan oleh Pangeran Notokusumo.
Tamansari berdiri di atas sebuah umbul atau mata air yang dikenal dengan nama Umbul Pacethokan. Di komplek Tamansari terdapat dua buah danau buatan, disebut sebagai segaran. Kata segaran berasal dari kata segara yang berarti lautan. Satu berada di sisi timur dengan pulau buatan di tengahnya yang bernama Pulo Gedhong, dan satu berada di sisi barat dengan pulau buatan di tengahnya yang bernama Pulo Kenanga. Kedua segaran ini dihubungkan dengan sebuah kanal yang memotong lorong penghubung Plataran Magangan dan Plataran Kamandhungan Kidul. Kebun berisi aneka tanaman buah tumbuh rimbun mengapit kanal tersebut.
Selain difungsikan sebagai tempat rekreasi, nampaknya Tamansari juga memiliki fungsi pertahanan dan fungsi religi. Fungsi pertahanan tampak pada tembok keliling yang tebal dan tinggi, gerbang yang dilengkapi tempat penjagaan, dan bastion atau tulak bala sebagai tempat menaruh persenjataan. Selain itu terdapat beberapa urung-urung atau jalan bawah tanah yang menghubungkan satu tempat ke tempat lain. Juga posisi bangunan Pulo Kenanga yang tinggi, diduga difungsikan sebagai tempat peninjauan apabila musuh datang.
Fungsi religi ditunjukkan dari adanya bangunan Sumur Gumuling dan Pulo Panembung. Sumur Gumuling yang berbentuk melingkar difungsikan sebagai masjid, sedang Pulo Panembung digunakan oleh Sultan sebagai tempat untuk bermeditasi. Kedua bangunan ini berada di tengah kolam Segaran, tampak menyembul di tengah bentangan air yang luas.
Pada awalnya bangunan Pesanggrahan Tamansari menghadap ke barat, sehingga lorong bagian depan (gledegan) terletak di sebelah selatan Plengkung Jagabaya (Plengkung Tamansari). Adapun segarannya memiliki lorong depan lurus ke utara sampai di Plengkung Jagasura (Plengkung Ngasem). Sebagai tempat wisata, kini pintu masuk ke kompleks ini berubah ke arah timur menggunakan pintu yang dahulunya merupakan pintu belakang.
Pada 1867, di masa pemerintahan Sri Sultan HB VI, terjadi peristiwa gempa besar yang meruntuhkan bangunan-bangunan di Jogja. Termasuk komplek bangunan Tamansari mengalami kerusakan yang cukup parah dan menjadi terbengkalai. Dari waktu inilah banyak penduduk yang kemudian membangun hunian di antara bekas kebun dan puing bangunan. Renovasi secara serius baru dimulai 1977. Beberapa bangunan yang tertimbun dibongkar. Namun hanya sedikit sekali bagian dari bangunan Tamansari yang bisa diselamatkan.
Gempa besar terjadi lagi di wilayah Yogyakarta pada 2006. Gempa tektonik yang berkekuatan 5,9 SR ini sekali lagi membawa kerusakan pada Tamansari. Proses renovasi dan revitalisasi kembali dilakukan, beberapa bangunan diperbaiki, diperkuat, dan dilapis ulang. Tamansari yang sempat tinggal reruntuhan kini mulai bersolek. Walau terhimpit rumah-rumah penduduk, sisa-sisanya menanti dikunjungi wisatawan yang ingin mengintip kemegahan taman raja dari masa lalu.
Mitos Taman Sari
Selain sebagai tempat wisata, Tamansari sering menjadi lokasi prewedding. Pengelola Tamansari pun mengakomodasi tujuan tersebut. Dikutip dari Instragram @wisata_tamansari_yogyakarta, biaya untuk prewedding di sini adalah Rp250.000-Rp500.000. Namun setiap pengambilan video menggunakan kamera professional untuk kegiatan selain wisata diwajibkan untuk konfirmasi terlebih dahulu di Kantor Tamansari.
Objek wisata ini sering diidentikan dengan adanya romansa di zaman dulu dan sekarang sehingga muncul tiga mitos yang berkembang. Pertama, Tamansari adalah tempat Sultan terdahulu menghabiskan waktu bersama para putri, ada pula mitos yang disebarkan di kawasan itu Sultan melempar bunga ke kolam untuk memilih mana yang diajak menemani Sultan. Kedua,saking seringnya menjadi tempat prewedding muncul mitos pasangan yang berciuman di lokasi tersebut hubungannya akan langgeng. Ketiga, konon Tamansari memiliki lorong rahasia yang menembus pantai selatan. Terdapat dua lorong bawah tanah yang dinamai dengan Urung-urung (lorong) Timur dengan panjang 45 meter yang menghubungkan Pulo Panembung dan Pulo Kenanga. Kemudian terdapat Urung-urung Sumur Gumuling yang memiliki panjang 39 meter dan di ujung lorong terdapat mata air yang dikelilingi lima anak tangga yang bernama Sumur Gumuling.
Sebenarnya Lorong Sumur Gumuling memiliki panjang lebih dari 39 meter ke arah barat. Namun pada 1972, bangunan itu dipugar sehingga tersisa lorong 39 meter. Konon sebelum dipugar lorong ini dapat tembus hingga pantai laut selatan, mitos ini diceritakan dari generasi ke generasi oleh masyarakat sekitar.
Alhasil, ada mitos lorong Sumur Gumuling merupakan akses pertemuan antara Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai selatan dengan Sultan Jogja. Alkisah, Sri Sultan HB I membangun kraton dalam satu sumbu lurus imajiner, terhubung dengan Gunung Merapi dan Pantai Parangtritis. Dengan harapan ketiganya dapat bersinergi.
Cek Fakta
Benarkah ketiga mitos tersebut? Buletin Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya, Mayangkara Edisi 2/2016 menulis ada tiga pokok Tamansari yang perlu diketahui, yaitu sebagai tempat rekreasi keluarga Sultan HB, tempat meditasi, dan sebagai benteng pertahanan terakhir Sultan HB apabila kraton telah jatuh ke tangan musuh. Sebab dahulunya, kompleks Tamansari dikelilingi danau buatan sehingga dikenal dengan nama Istana Air. Dengan demikian mitos pertama dan kedua terbantahkan dari fungsi-fungsi Tamansari tersebut.
Bagaimana dengan mitos ketiga? Benarkah Taman Sari merupakan akses pertemuan Ratu Pantai Selatan dan Sultan Jogja?
Mari kita sama-sama membedah dari sisi letak. Pertama, Tamansari terletak di kawasan Kemantren Kraton, Kota Jogja. Berdasarkan Google Map, jarak antara Kraton Jogja ke Taman Sari sekitar 650 meter. Jika Anda mengendarai mobil atau motor, setidaknya Anda membutuhkan waktu sekitar enam menit. Tergantung dari kepadatan arus lalu lintas saat Anda melintas. Namun jika Anda suka berjalan kaki sembari menikmati pemandangan khas di sekitar Kraton Jogja, Anda membutuhkan waktu 9-10 menit.
Kedua, seperti kita ketahui, Sumbu Filosofi yang resmi menjadi Warisan Budaya Dunia dari UNESCO tahun lalu. Dengan demikian dunia mengakui jika filosofi mendalam di antara Panggung Krapyak, Kraton Jogja dan Tugu tidak hanya hidup di masa lalu tetapi juga menjadi patokan masyarakat berperilaku.
Sebagai informasi, Sumbu Filosofi merupakan tata kota yang terbentuk sejak awal pembangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sekitar tahun 1755. Sri Sultan HB I membuat tata kota beserta atributnya dengan makna masing-masing.
Filosofi dari Panggung Krapyak ke Utara menggambarkan perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu, beranjak dewasa, menikah sampai melahirkan anak (Sangkaning Dumadi). Sebaliknya dari Tugu Pal Putih ke arah Selatan merupakan perjalanan manusia menghadap sang pencipta (Paraning Dumadi).
Peletakan unsur sosial masyarakat, termasuk juga bangunan mengandung makna-makna tersendiri. Contohnya, penempatan Komplek Kepatihan dan Pasar Beringharjo melambangkan godaan duniawi dan godaan syahwat manusia yang harus dihindari, terutama dalam perjalanan manusia kembali ke pencipta.
Meski punya nilai yang mendalam, belum banyak masyarakat yang paham soal Sumbu Filosofi. Justru publik lebih familiar degan sebutan garis imajiner. Apakah beda Sumbu Filosofi dan garis imajiner? Dikutip dari Buletin Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya, Mayangkara Edisi 2/2016 yang diterbitkan Dinas Kebudayaan DIY, Ngayogyakarta Hadiningrat diapit oleh dua sungai besar di ring paling luar, Sungai Opak dan Sungai Progo serta Sungai Codé dan Winongo di ring yang paling dalam. Puncak gunung menurut mitologi Hindu merupakan tempat bersemayamnya para dewa yang di Yogyakarta diwakili oleh Gunung Merapi. Dengan seting lokasi seperti inilah Pangeran Mangkubumi menciptakan sumbu/poros imajiner Gunung Merapi–Kraton–Laut Selatan.
Meski berbeda, tetapi Sumbu Filosofi dan garis imajiner memiliki satu kesamaan, yakni memiliki garis lurus di antara ketiganya. Adapun Tamansari terletak di barat daya Kraton sehingga mitos itu kembali terbantahkan.
Lalu mengapa mitos tersebut sangat kencang terdengar di kalangan masyarakat awam. Dari berbagai sumber yang Harian Jogja dapatkan, informasi tersebut awalnya muncul dari pemandu wisata. Tujuannya satu, agar cerita tersebut terasa dekat dengan masyarakat kebanyakan yang menyukai cerita romansa sehingga banyak orang penasaran dan ingin mengunjungi lokasi tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- CEK FAKTA: Prabowo Ancam Rakyat yang Hina Pejabat Negara
- Cek Fakta: Gibran Mundur sebagai Wakil Presiden Terpilih
- CEK FAKTA: Prabowo Resmikan Partai Baru Besutan Anies
- Cek Fakta: Hilang, Kaesang Masuk Daftar Pencarian Orang Bareskrim Polri
- Hoax! Muncul Vidoe DPR Temukan Uang Rp600 Triliun di Istana Jokowi
Advertisement
Terbukti Langgar Netralitas, Seorang ASN di Bantul Dilaporkan ke BKN
Advertisement
Hanya Satu Hari, Film The Last Dance Jadi Box Office di Hong Kong
Advertisement
Advertisement
Advertisement